FK-THL TBPP KARAWANG

KIRIM CERITA ANDA KE EMAIL KAMI

TERPAFAVORIT

IKLAN BLOG

Total Tayangan Halaman

Sabtu, September 12, 2009

Cita Cita PPL Di masa kecil


sudah lama aku gak merasakan lumpur sawah mengering di kakiku. Pagi ini aku merasakanya lagi dingin dan baunya yang khas. Masa tanam padi sedang dimulai. Dan pagi ini, aku mengantarkan sarapan pagi buat para pekerja tandur yang semuanya ibu-ibu. Sisa bambu pembatas semaian benih mendorongku untuk masuk sawah dan meminggirkanya. Dan lumpur ini mengingatkanku dengan masa kecilku yang akrab berbalut lumpur.

Dulu, setiap masa panen, ketika belalang muncul banyak-banyaknya. Area mainanku adalah sawah, mengejar belalang untuk di goreng. belalang di desaku di namai "Walang". Ada banyak walang yang aku kenal. Ada walang gambuh. tempatnya di pohon singkong. Ada walang bedor, tempat hidupnya di tanaman padi dan rumput-rumput yang agak tinggi. walang gepuk, walang geper, walang kayu, walang genjor (ini paling enak buat dimasak), walang epret, walang kecongcong, walang kedehe dan banyak lagi jenis belalang lokal yang aku lupa namanya. Kalo malam tiba, masyarakat di desaku dulu banyak yang ngobor nangkap walang. Dengan bekal damar buat penerang dan botol sebagai tempat menaruh hasil tangkapan, aku juga ikut berpartisipasi. Bahkan aku sempat bingung dulu, kegelapan mengaburkan posisiku. Setiap melangkah yang terlihat hanya obor-obor kecil lain. Jalan sama sekali gak terlihat. Akhirnya kususuri pematang sawah yang jadi terasa sangat jauh dan muaraku pun tampak. Jalan besar menuju pulang.

Sekilas masa kecil terkuak gara-gara lumpur ini, ia yang menempel dikakiku dan sekarang sudah mengering. Dan lumpur kering yang menempel di kakiku ini mengundang banyak pertanyaan tetanggaku. "Itu kakinya kotor kenapa mas?" Asem, mereka kira aku ga bisa nyangkul kali (padahal emang gak bisa....). Aku bilang saja habis ikut tandur.

Aku hanya berfikir, sempatkah anakku kelak mengenal lagi jenis-jenis belalang seperti ayah dan mbahnya. Akankah mereka juga terus mengingat bau lumpur sawah ini? sawah yang telah mengantar nenek moyangnya hidup dalam ketenangan desa kecilnya.

Hujan baru saja berhenti dua hari, tapi sawah sudah kekurangan air untuk keperluan penanaman. Beberapa kali aku lihat mesin penyedot air beropreasi disawah. Dan keluhan kang Muhrodin tadi sempat kuingat "beli pupuk sekarang harus indent mas, gak bisa langsung beli".

Dan pagi ini dirumah, kubersihkan lumpur kering yang menempel di kaki dan tanganku....

3 komentar:

Cumi mengatakan...

Aku terenyuh...sungguh indah trnyata jd petani ya., teruslah brkarya om...

23 September 2009 pukul 23.12
kang dwi mengatakan...

wuihhhhhh
mantaf banget nih tulisannya

18 Oktober 2009 pukul 17.28
bpp candipuro mengatakan...

ternyata bukan cuma kami yang bercita2 seperti ini.
Salam kenal ya pak, blognya bagus,
Mohon kritik dan saran untuk web kami

18 Oktober 2009 pukul 17.30

PENYULUH PERTANIAN KARAWANG

RANGKING