FK-THL TBPP KARAWANG

KIRIM CERITA ANDA KE EMAIL KAMI

TERPAFAVORIT

IKLAN BLOG

Total Tayangan Halaman

Minggu, Februari 15, 2009

PENINGKATAN HASIL GABAH MELALUI SEKOLAH LAPANG

PENINGKATAN HASIL GABAH MELALUI SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) DI DESA PAYUNGSARI KECAMATAN PEDES KABUPATEN KARAWANG

Ramdhani, SP

PENDAHULUAN

Pertanian tanaman pangan khususnya tanaman padi mempunyai nilai strategis karena merupakan tulang punggung ketahanan pangan dan hajat hidup penduduk Indonesia. Hal ini tampak pada kebutuhan beras yang terus meningkat sesuai dengan perkembangan penduduk (1,9%), dimana permintaan beras untuk tahun 2025 diperkirakan mencapai 78 juta ton. Salah satu usaha peningkatan produksi dilakukan melalui intensifikasi dengan perbaikan teknologi budidaya tanaman padi. Pemanfaatan sumberdaya baik lahan, air, tanaman dan organisme dalam budidaya tanaman padi sampai sekarang ini belum optimal. Hal ini tampak dari rendahnya efisiensi penggunaan input, hasil gabah per hektar, semakin banyaknya masalah hama dan penyakit dalam budidaya tanaman padi dan lain-lain. Oleh karena itu dalam sistem pertanian yang berkelanjutan perlu adanya perbaikan dalam strategi pengelolaan sumberdaya lahan, air, tanaman dan organisme (LATO) untuk meningkatkan efisiensi dalam penggunaan input produksi. Dalam konsep tersebut, penggunaan komponen teknologi disesuaikan dengan kondisi setiap lokasi dimana antara komponen teknologi satu dengan lainnya bersinergi.
Dalam warisan nenek moyang dikatakan bahwa ada 5 hal yang perlu dilakukan dalam budidaya padi, yaitu :
1. Bila daun padi di persemaian sudah mencapai 4 buah, maka tanaman padi segera ditanam pindah ke sawah, bila daun padi sudah mencapai 8 buah, maka segera dilakukan pemupukan, bila daun padi sudah mencapai 12 buah maka tanaman padi harus dikeringkan dan bila daun padi sudah mencapai 16 buah maka tanaman memasuki primordia bunga dan segera diberi pupuk susulan
2. Jangan mengairi sawah terlalu banyak dan lama agar tumbuh banyak anakan
3. Memupuk untuk memperkuat tanaman, mengairi untuk membentuk bulir
4. Hindari padi saat berbunga bersamaan dengan musim petir dan hujan lebat, hal ini dapat dilakukan melalui pengaturan saat tanam.
5. Tanah menghasilkan makanan, sedangkan yang tidak bisa dimakan (jerami dan sekam) hendaknya dikembalikan ke tanah.
Dengan dilepasnya varietas-varietas berdaya hasil tinggi baik padi konvensional, hibrida maupun padi tipe baru, maka strategi pengembangannya pun perlu teknologi budidaya yang berbeda sehingga pengelolaan sumberdaya LATO sangat diperlukan. Strategi tersebut didasarkan pada pengalaman dalam melaksanakan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) pada padi sawah dan pemahaman penampilan varietas-varietas berdaya hasil tinggi. Dengan penerapan strategi tersebut diharapkan terjadi peningkatan produksi padi untuk mencukupi kebutuhan pangan dan agroindustri dalam negeri serta peningkatan pendapatan petani secara merata. Berdasar pengalaman dalam menerapkan model PTT di 18 propinsi menunjukkan bahwa budidaya padi dengan menerapkan model PTT mampu meningkatkan hasil gabah berkisar 7 – 38 % dibanding budidaya padi non-PTT atau terjadi peningkatan hasil gabah berkisar 0,35 – 2,29 t/ha dengan rata-rata 1,09 t/ha. Dengan demikian budidaya padi model PTT mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut.
Sementara itu tingkat penerapan komponen teknologi PTT disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan masalah setempat dan ternyata beragam antar petani dan antar daerah. Teknologi budidaya model PTT antara lain (1) perlakuan benih dengan perendaman larutan garam 3 % artinya tiap 1 liter air ditambahkan 30 gram garam dapur. Benih yang mengapung dibuang sedangkan benih yang tenggelam dijadikan benih untuk mendapatkan bibit yang sehat. Perlakuan ini ditujukan agar benih yang dijadikan bibit cukup sehat untuk pertumbuhan tanaman nantinya. Kebutuhan benih sebanyak 15 kg per hektar lahan yang ditanami sementara kebutuhan benih untuk pertanaman padi non-PTT di tingkat petani sebanyak 25 kg/ha. (2) Varietas, dimana digunakan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan penyakit di daerah setempat, rasa nasi sesuai dengan selera petani dan permintaan pasar. Varietas yang masih menjadi andalan petani dalam budidaya tanaman padi antara lain varietas Ciherang, dan IR 64, sedangkan varietas padi lainnya antara lain Widas, Kalimas, Cisokan, Ciliwung, dan lain-lain. (3) pemupukan, dimana pemberian pupuk N didasarkan pada pembacaan bagan warna daun (BWD) berkisar 210 – 250 kg/ha. Efisiensi pemberian pupuk urea berdasar pembacaan BWD cukup tinggi dimana dapat menghemat penggunaan urea sebanyak 50 – 150 kg/ha. Penggunaan pupuk SP-36 dan KCl masing-masing dapat dihemat sebanyak 50 kg/ha. Pemberian pupuk P dan K didasarkan pada analisis tanah ataupun peta status hara P dan K. (4) Pemberian bahan organik sebanyak 1-2 ton/ha untuk memperbaiki kesuburan tanah disesuaikan dengan sumber bahan organik yang tersedia di lokasi. (5) tanam jajar legowo 2:1 atau 3:1 ataupun 4:1dengan jarak tanam 25 cm x 12,5 cm, sehingga populasi tanaman per hektar masing-masing 213.333, 240 ribu dan 256 ribu tanaman per hektar. Keuntungan lain dengan cara tanam legowo adalah mudah melakukan penyiangan, memudahkan pemberian pupuk ke dalam baris tanaman, hasil gabah lebih tinggi dan pertumbuhan tanaman lebih bagus karena persaingan antara tanaman hanya dalam baris serta adanya “border effect” dimana penampilan tanaman lebih lebat seperti halnya tanaman pinggir pada system tanam tegel. (6) irigasi berselang dengan periode kering-basah secara bergantian sejak tanam sampai primordial bunga, kemudian tanaman digenang sejak periode bunting sampai pengisian gabah dan genangan air dibuang pada 2 minggu menjelang panen, (7) penyiangan dengan alat gasrok pada 21 dan 42 hari setelah tanam, (8) tanam bibit muda 15 hari setelah sebar dan bibit tunggal tiap lubang tanam. Cara ini menstimulasi pembentukan anakan lebih banyak karena periode vegetatif tanaman lebih lama dan persaingan tanaman dalam satu lubang tanaman lebih kecil dibanding teknologi yang biasa digunakan petani saat ini, (9) Panen pada kondisi 90 % masak fisiologi atau 30 hari dari periode berbunga. Bila memungkinkan tanaman padi dirontok dengan mesin perontok (power thresher).
Dengan demikian sebenarnya banyak kesamaan teknologi budidaya tanaman padi model SRI dengan PTT sedangkan perbedaannya pada cara pandang teknologi budidaya itu sendiri dimana teknologi SRI menekankan pada budidaya padi ramah lingkungan sedangkan PTT menekankan pada sinergisme faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi.
Tanaman padi memiliki sifat khas secara genetik seperti potensi hasil tinggi, kualitas gabah yang baik, respon terhadap pemupukan dan daya adaptasi terhadap lingkungan tumbuhnya. Hasil pertanaman padi merupakan interaksi dari faktor tanah, tanaman maupun lingkungannya. Strategi untuk mendapatkan potensi optimum dari suatu varietas padi perlu diketahui sifat asli varietas tanamannya baik keunggulan maupun kekurangannya. Seperti halnya varietas Ciherang yang cukup luas penyebaran pertanamannya sangat peka terhadap penyakit kresek (BLB) bila ditanam di daerah yang susah membuang kelebihan air di petakan. Oleh karena itu perlu menyempurnakan teknologi budidaya yang spesifik agar terpenuhi kebutuhan tumbuh tanaman padi sehingga tercapai hasil gabah yang tinggi dan peningkatan pendapatan usahatani tanaman padi yang berkelanjutan.








Kelebihan dan kekurangan budidaya tanaman padi model PTT
Tabel. 1. Kelebihan dan kekurangan teknik budidaya model PTT
No PTT
1 Hasil gabah (t/ha) 5,02 – 8,16
2 Harga beras (Rp/kg) 4000
3 Metode pendekatan PRA, PHT
4 Teknik diseminasi Hamparan, kelompok, demplot
5 Pertumbuhan gulma Agak cepat
6 Produk beras Sehat
7 Efisiensi input Tinggi
8 Paket teknologi Optimal
9 Peningkatan hasil gabah (t/ha) 0,35 – 2,29 t/ha
10 Bahan organik 2 ton/ha
11 Target pemupukan Tanaman sehat
12 Proses pembuatan BO Perlu decomposer dan tidak bau

Sementara itu budidaya padi menggunakan model PTT mempunyai kelebihan antara lain
1. Teknologi budidaya yang dikembangkan di suatu daerah didasarkan pada masalah dan kendala yang ada di daerah setempat karena sebelum model PTT diterapkan di suatu daerah, terlebih dahulu dilakukan penelaahan partisipatif dalam waktu singkat (participatory rural appraisal/PRA). Dengan demikian penerapan budidaya padi model PTT disesuaikan dengan sumberdaya alam yang ada di lokasi dan teknologi inovasi yang sesuai.
2. Berdasarkan sifatnya, komponen-komponen teknologi dipilah menjadi 2 yaitu (a) teknologi untuk pemecahan masalah setempat atau spesifik lokasi dan (b) teknologi untuk perbaikan cara budidaya yang lebih efisien. Dalam aplikasinya semua komponen teknologi tidak harus diterapkan, namun ada komponen teknologi yang harus diterapkan sebagai penciri model PTT antara lain benih bermutu, varietas unggul baru yang sesuai lokasi, bibit muda, bibit tunggal per lubang tanam, pemupukan N berdasar pembacaan bagan warna daun, dan pemupukan P dan K berdasar status hara tanah.
3. Hasil gabah tinggi dan pendapat usahatani padi meningkat dibanding budidaya padi bukan PTT. Kenaikan pendapatan berkisar Rp 309 ribu sampai Rp 2,29 juta per hektar atau peningkatan hasil gabah berkisar gabah berkisar 0,35 – 2,29 t/ha dengan rata-rata 1,09 t/ha atau 7 – 38 % dibanding budidaya padi non-PTT berdasar pengalaman penerapan model PTT di 18 propinsi di Indonesia.
4. Kombinasi pemupukan antara pemberian pupuk anorganik dan organik merupakan salah satu upaya menyeimbangkan status hara tanah. Intensifikasi padi selama ini bertujuan memperoleh hasil gabah sebanyak-banyaknya, artinya banyak hara terkuras dari tanah sehingga perlu suplai hara yang banyak pula untuk mengimbangi senjang hara dalam tanah akibat pengurasan hara tersebut. Pengembalian jerami sebanyak 2 ton/ha untuk memperbaiki kesuburan tanah dan pemberian pupuk anorganik untuk mencukupi kebutuhan hara tanaman wajib dilakukan. Sebagai ilustrasi bahwa tiap 1 ton gabah yang dihasilkan, tanaman padi memerlukan hara N, P dan K masing-masing sebanyak 18 kg, 3 kg dan 17 kg atau setara dengan 40 kg urea, 19 kg SP-36 dan 34 kg KCl. Bila tiap hektar sawah diperoleh gabah sebanyak 7 ton maka secara teoritis kebutuhan urea sebanyak 280 kg, SP-36 sebanyak 133 kg dan KCl sebanyak 238 kg. Jumlah pupuk tersebut diasumsikan bahwa pupuk terserap semua padahal berdasar hasil penelitian ternyata pupuk N yang terserap tanaman berkisar 30 – 40 % dari total pupuk yang diberikan, sedangkan pupuk P dan K masing-masing 20 – 25 % dan 30-40 %. Namun demikian tanah dan air irigasi juga dapat mensuplai hara N, P dan K. Sumbangan hara N, P dan K dari tanah masing-masing 40-65 kg N/ha, 12-19 kg P/ha dan 60-100 kg K/ha tergantung kesuburan tanah, sementara itu sumbangan hara dari air irigasi 19 kg K/ha/musim. Dengan demikian secara potensial bila kesuburan tanah rendah maka suplai hara berasal dari tanah mampu mencukupi sebanyak 68 %, 75 % dan 0,85 % kebutuhan hara N, P dan K, sedangkan bila tanah sangat subur maka hara tanah dapat mensuplai 80 % N, 75 % P dan semua kebutuhan kalium.

Sementara itu kekurangan dalam penerapan budidaya padi model PTT antara lain cara diseminasi teknologi PTT di level petani yang belum padu. Sebagai contoh dalam penetapan bibit muda, dalam panduan disebutkan umur bibit < 21 hari. Pernyataan tersebut dapat membingungkan petugas penyuluh untuk mensosialisasi penanaman bibit muda. Demikian pula dalam penanaman bibit tunggal, ternyata dalam buku panduan disebutkan 1-3 bibit per lubang. Mestinya kalau bibit tunggal ya 1 bibit per lubang tanpa embel-embel 1-3 bibit lagi. Jadi dalam penyuluhan PTT hendaknya ada ketegasan yang dapat dijadikan pedoman bagi petugas penyuluh di lapangan. Hal ini dikarenakan petani masih belum bisa melepaskan diri dari aturan yang sudah lama mereka jalani sehingga belum dapat menentukan sendiri teknologi budidaya padi mana yang harus diikuti. Petugas pendamping PTT di daerah juga belum menyelami sepenuhnya teknologi model PTT sehingga bila ada pertanyaan dari petani seringkali tidak tahu menjawab dengan benar. Secagai contoh mengapa bahan organik yang diberikan harus 2 t/ha, mengapa dilakukan irigasi berselang, mengapa pupuk urea diberikan secara split sedangkan pupuk P dan K tidak, dan lain-lainnya.






DAFTAR PUSTAKA

Iwan Juliardi. 2006. Peningkatan Hasil Gabah Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Sistem Intensifikasi Padi (SRI). BB PADI Sukamandi. Subang. Jawa Barat.

Iwan Juliardi, Putu Wardana dan Anischan Gani. 2005. Budidaya Padi Model SRI : Penampilan dan Peluang Perbaikanya di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. BB PADI Sukamandi. Subang

0 komentar:

PENYULUH PERTANIAN KARAWANG

RANGKING